Jumat, 15 Agustus 2008

Benturan Peradaban, Multikulturalisme, dan Fungsi Rasio

POSTMODERNISME sering dikatakan "membunuh rasio". Namun, sebenarnya tidak, ia hanya memecah belah dan membiarkannya tetap terpecah belah. Dampak pecah belah itu pun tak perlu diartikan sebagai adu domba. Benturan peradaban sering kali dianggap merupakan ekses dari postmodernisme. Sebenarnya tidak.

BENTURAN peradaban barangkali lebih harus menjadi tanggung jawab modernisme daripada postmodernisme. Dalam bentuknya yang lebih moderat, postmodernisme masih menjanjikan keberlangsungan hidup dan bahkan keberlangsungan dari hidup yang sejahtera. Bentuk moderat dari postmodernisme ini akan kita sebut sebagai "multikulturalisme".

Multikulturalisme memuat banyak kelebihan etis maupun praktis, namun dia mengandung kekurangan dalam satu hal besar, yakni membatasi fungsi rasio hanya sebagai sebuah strategi untuk mempertahankan hidup dan hidup lebih sejahtera. Rasio sebenarnya dapat beroperasi dengan bertolak dari pangkalan yang sama sekali tak berhubungan dengan pengalaman langsung, berkelana di wilayah-wilayah abstrak dan berhenti pada oasis-oasis abstrak dari gurun abstrak tanpa tepi. Rasio adalah operasi imajinasi, namun imajinasi itu adalah imajinasi rasional, artinya imajinasi yang memiliki disiplin diri.

Retorika "mockery"

Postmodernisme pada akhirnya ialah pengakuan pada adanya multirasionalitas. Dengan begitu, setiap klaim rasionalitas perlu menimbulkan syak wasangka sebagaimana diajarkan oleh Alasdair MacIntyre. Kalau kita berbicara tentang rasionalitas harus jelas lebih dahulu rasionalitas siapa atau rasionalitas yang mana (MacIntyre: 1988).

Apalagi, rasionalitas-rasionalitas dari kultur-kultur besar dan kuat selama ini cenderung mengklaim diri sebagai "universal" dan mengindoktrinasikan diri kepada kaum pinggiran. Mungkin dapat dijadikan sebagai sekadar contoh, bagaimana kultur-kultur non-Jawa di sebuah republik modern masih harus memiliki satuan administrasi yang bernama "kelurahan" atau "kabupaten". Contoh lain yang dapat diambil dari khazanah feminisme radikal ialah bagaimana kaum perempuan terpaksa harus mempelajari sejarah sebagai history dan bukannya her-story.

Dalam arti ini, salah satu nilai lebih dari postmodernisme ialah bahwa ia mendorong terjadinya konsientisasi. Kaum pinggiran diberanikan untuk membongkar atau mendekonstruksi rasionalitas-rasionalitas opresif dan mengubah sejarah serta masyarakat melalui "kata-kata" mereka sendiri. Postmodernisme dapat dengan gegap-gempita menawarkan pembebasan ini.

Pembebasan itu tentu saja tidak harus digambarkan dengan pembebasan yang mendasarkan diri pada rasionalitas sebuah conviction yang mapan. Pembebasan itu dapat juga hanya berupa penggembosan berbagai conviction melalui olok-olok (mockery).

Di bawah pengaruh iklim postmodern semacam ini, tak ada hal yang memiliki privilese untuk terlindung dari olok- olok. Upacara pengukuhan seorang guru besar filsafat, misalnya, ternyata dapat bertaburan dengan olok-olok (Kompas, 11/3/ 2003). Benar apa yang dikatakan Rorty, filsafat dan kerja rasional lainnya tidak perlu diberi privilese (Rorty, 1980: 3-13).

Akan tetapi, kita ingat bagaimana seorang tokoh pemikir pembebasan yang bernama Ivan Illich bahkan pernah bertanya "after deschooling, what?". Pertanyaan itu dilontarkannya sesudah dirinya sendiri dan banyak tokoh lain semisal Paulo Freire menelanjangi sekolah sebagai sambungan tangan dari penindasan budaya. Pada tempatnya pula bila kepada postmodernisme orang bertanya after deconstruction, what?

Postmodernisme

Namun postmodernisme dapat amat serius. Sebagian dari yang serius ini memasukkan tesis yang bernama incommensurability. (Rorty, 1980: 313-394 dan Rorty, 1989: xiii-xvi). Model dari pelbagai aktivitas kebudayaan, termasuk sains, adalah permainan, atau bahasa, atau-dalam bahasa Wittgenstein- permainan-bahasa (language-game).

Setiap permainan dan setiap bahasa memiliki aturan main masing-masing. Tidak mungkin kita menilai aturan permainan bulu tangkis dari sudut aturan permainan sepak bola.

Tidak mungkin juga kita menilai tata bahasa Inggris dari tata bahasa Belanda. Apa yang salah bagi sepak bola merupakan tindakan yang wajib bagi bola basket. Apa yang salah bagi bahasa Inggris dapat merupakan cara berbahasa yang benar bagi bahasa Belanda.

Selebihnya, apa yang dianggap penting dalam suatu bahasa dapat sama sekali tidak relevan bagi bahasa-bahasa lain. Dalam menggunakan kata ganti kedua, apa yang dianggap penting bagi orang Jerman dan Perancis dianggap tidak relevan bagi orang berbahasa Inggris, kecuali bila pihak kedua itu Tuhan.

Apa yang dianggap penting dalam suatu permainan dapat sama sekali tidak relevan bagi permainan-permainan lain. Orang dapat saja bermain kartu di atas meja ping-pong, namun tidak bermain ping-pong di atas meja kartu.

Begitu pula dalam hal kebudayaan. Ada kebudayaan yang menilai tinggi otentisitas dan menganggap hina peniruan. Ada kebudayaan yang menganggap meniru itu wajib, asalkan tiruannya dimanfaatkan bagi masyarakat banyak dan memiliki mutu lebih baik dari yang ditiru. Ada kebudayaan yang menghalalkan tiru-meniru, mengatakan bahwa tiruan itu bukan tiruan, padahal memiliki mutu lebih buruk.

Kasus sengketa dagang yang melibatkan IBM dan Fujitsu pada akhir tahun 1980-an, seputar persoalan intellectual property right, menunjukkan hal itu (Stewart: 1996, 270-285). "Caux Roundtable Principle" yang di dalamnya termuat kebajikan-kebajikan yang mendasarkan diri pada nilai-nilai human dignity dan kyosei dimaksudkan untuk mengatasi perbedaan budaya itu ( Nugroho: 2001, 38-53).

Tesis incomensurability tidak mengatakan bahwa kita tidak dapat melakukan studi perbandingan antar rasionalitas. Ia hanya mengatakan bahwa pada akhirnya tak ada impartiality atau obyektivitas untuk mengatakan suatu bahasa, permainan atau rasionalitas itu "lebih" dari rasionalitas lain. Setiap putusan muncul dari suatu sistem rasionalitas. Setiap sistem membenarkan dirinya sendiri dalam apa yang disebut "lingkaran hermeneutik" (hermeneutic circle).

Tak perlu berarti bahwa sintesis tidak mungkin diikhtiarkan. Bahasa Esperanto dibuat dan diperkenalkan biarpun tak banyak yang menuturkan. Bahasa Jawengdonesia ("miksyurr besok jadi yoo, tengkyu berat lhoo") sengaja atau tak sengaja semakin banyak dituturkan.

Namun sintesis itu tidak akan menjadi sebuah "supra bahasa". Ia hanya bahasa di antara bahasa-bahasa lain. Hasil dari sintesis antara permainan-permainan adalah juga sebuah permainan di antara permainan-permainan. Ketika orang mau membuat sintesis antara agama- agama, hasilnya juga berupa sebuah agama di antara agama-agama.

Dengan kacamata pemikiran seperti ini, masihkah kita akan berbicara tentang "moralitas" sesungguhnya atau "realitas" sesungguhnya atau "pengetahuan" sebenarnya? Kesungguh-sungguhan hanya bersifat lokal, partikular, komuniter, primordial, parokial.

Tidak penting apa referensi dari reagan dalam wacana bangsa Amerika, namun dalam wacana yang telah melahirkan karya-karya almarhum Umar Kayam dia telah menjadi rigen, tekun dan rajin (di Banyumas kata "rajin" malah juga berarti "rapi"). Tak ada yang menganggap "mister Rigen" versi Umar Kayam sebagai bentuk inferior dari Reagan "asli".

Dunia bisnis semula juga mengolok-olok McDonald’s Paris sebagai sebuah restoran fast food yang turun derajat menjadi sebuah gerai slow food, karena latar belakang kultural dan karena itu juga perilaku konsumen yang berbeda. Ketika gerai-gerai slow food MacDonald’s Paris justru secara pragmatis menyesuaikan diri dengan lingkungan kultural dan bahkan merias diri menjadi gerai-gerai yang chic, dunia bisnis sekarang sedang berdebar-debar menanti apakah gerai-gerai McDonald’s di pelosok dunia lain akan mengikuti gerai "asli" atau malah akan merias diri a la McDonald’s Perancis (Nugroho dan Cahayani, 2003).

Benturan peradaban?

Karena adanya tesis incommensurability orang kadang-kadang mengaitkan postmodernisme dengan "benturan peradaban". Spesies manusia akan mati tercekik karena dengan klaim "universal" peradaban-peradaban lokal akan saling mengerkah.

Yang terjadi adalah drama bellum omnium contra omnes yang bukan lagi sekadar the war of every man against every man seperti dikatakan oleh Hobbes, tetapi lebih berupa the war of every civilization against every civilization. Karena tidak ada "rasionalitas universal" untuk menghakimi siapa yang "benar", maka kompetisi klaim harus diselesaikan dengan kekuatan lain.

Muncullah pemeo might is right, kekuatanlah yang akan menentukan siapa-siapa yang pantas disebut "universal", yang dalam perkembangan sejarah lazimnya berhubungan dengan klaim kebenaran "final" (Huntington/Ruslani, 2000: 597).

Polarisasi yang terjadi di panggung global sekarang ini menyangkut "krisis Irak" tak jarang diartikan sebagai salah satu contoh benturan peradaban. Ketakmampuan elite politik nasional untuk bersikap sebagai "negarawan", dengan mengambil jarak dari "kepentingan kaum" atau dengan kata lain bersifat impartial, mungkin juga punya hubungan dengan mustahilnya mengambil sikap impartial dalam kerangka pikir postmodern ini.

Tetapi sebenarnya tidak adil kalau tanggung jawab atas benturan peradaban begitu saja dilemparkan kepada postmodernisme. Postmodernisme berhenti pada local wisdom dan memustahilkan universal truth.

Artinya usaha untuk membuktikan siapa lebih benar atau lebih baik atau lebih universal kebenaran atau kebaikannya, dengan cara-cara rasional maupun tidak, adalah usaha yang berlebihan, superfluous. Menganggap benturan peradaban sebagai konsekuensi logis dan praktis dari postmodernisme mencederai postmodernisme secara tidak adil, karena baginya rasionalitas setiap peradaban tidak perlu dibentur-benturkan dan klaim "global" atau "universal" hanyalah bunyi angin dari ban kempes modernitas.

Bagi postmodernisme, kompetisi antarperadaban untuk menentukan kelebih-beradaban merupakan kekeliruan bukan hanya pada caranya, tetapi sudah sejak titik tolak berpikirnya.

bersambung................................